CALEG GOLKAR

Diskusi Pakar, Memastikan Pengaturan Hak Dasar Rakyat Atas Air Pada RUU SDA

MEDAN (medanbicara.com) – Rancangan Undang-Undang (RUU ) Sumber Daya Air (SDA) diharapkan bisa disahkan sebelum berakhirnya masa tugas DPR RI periode ini pada Oktober 2019 mendatang.

Hal itu disebabkan pentingnya keberadaan payung hukum yang mengatur SDA pasca pembatalan semua pasal terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air oleh Mahkamah Konstitusi pada 18 Februari 2015.

Apalagipembangunan berkelanjutan menuntut pemanfaatan Sumber Daya Air secara lestari untuk kemakmuran rakyat. Indonesia dikenal sebagai negara dengan sumber daya air yang berlimpah. Meski demikian, pengendalian dalam pengelolaan sumber daya air tetap perlu dilakukan dengan terencana agar pemenuhan kebutuhan para pihak (kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat, pertanian, industri, dll) tetap terjamin, baik kualitas dan kuantitasnya.

Di industri misalnya, baik industri tekstil, pulp, perkebunan, peternakan, perikanan, pembangkit listrik, industri makanan dan minuman, pertambangan, industri baja dan industri lainnya, sangat tergantung dengan air. Dengan demikian, jika pengelolaan sumber daya air tidak dilakukan secara baik dan benar, maka akan menyebabkan dampak yang sangat besar baik dari sisi sosial, lingkungan hidup, maupun ekonomi.

RUU tentang SDA menjadi jawaban atas berbagai persoalan yang menahun terkait pemenuhan hak dasar atas air oleh masyarakat. Sebab, air sebagai kebutuhan vital masyarakat yang harus dijamin oleh pemerintah. Permasalahannya, pemerintah hingga saat ini baru mampu menyediakan kurang dari 70 persen kebutuhan air bersih bagi masyarakat.

Untuk memperkuat ketahanan air dan pemenuhan 100 persen kebutuhan air bagi masyarakat, pemerintah perlu mengalokasikan dana sebesar Rp 100 triliun hingga tahun 2024 untuk pembangunan infrastruktur SPAM (Sisistem Penyediaan Air Minum). Karenanya, kehadiran swasta dalam pengelolaan air bersih bagi masyarakat tetap dibutuhkan.

Karenanya, aturan payung hukum baru harus segera diterbitkan. Pentingnya diundangkannya dengan segera RUU SDA yang baru, karena meskipun keputusan MK juga menyatakan bahwa UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan diberlakukan kembali, tetapi MK dalam amar keputusannya juga tidak menyatakan bahwa semua aturan pelaksanaan yang mengikuti UU No. 11 Tahun 1974 berlaku kembali.

Dengan demikian, semua aturan tesebut juga batal demi hukum karena sudah semua aturan pelaksanaan UU No 11 Tahun 1974 juga dibatalkan oleh semua tata aturan di bawah UU Nomor 7 Tahun 2004.

Berlarut-larutnya RUU SDA untuk segera diundangkan, akan berdampak pada terhambatnya iklim yang tidak kondusif dan proses investasi yang belum ada kepastian hukumnya untuk mengatur pendirian industri berbasis air di Indonesia. Padahal dalam catatan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi paling bes UIKA ar pada 2018 lalu masih berasal dari sektor listrik, gas, dan air yang mencapai Rp 117,5 triliun atau 16,3% dari total investasi, di mana Penanaman Modal Asing (PMA) di sektor ini sebesar Rp 392,7 triliun atau 15%) dari total investasi.

Jadi RUU ini sangat urgent terutama untuk pengusahaan sumber daya air. Baru-baru ini dalam sebuah acara diskusi, Anggota Panja RUU SDA dari Komisi V DPR RI, Syarif Abdullah, menyatakan optimis dapat merampungkan pembahasan RUU ini sebelum masa tugas mereka berakhir Oktober 2019. “Sekarang sudah masuk pada tahap perumusan UU. Kita berharap sebelum selesai masa jabatan DPR periode ini, RUU SDA sudah dapat diundangkan,” ujar Syarif.

Staf Khusus Menteri PUPR Firdaus Ali juga optimis bahwa RUU SDA akan diundangkan dalam waktu dekat. Dia menuturkan bahwa hal yang paling krusial adalah bagaimana menterjemahkan amal keputusan MK dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat, termasuk swasta dan industri terkait pemanfaatan sumber daya air. “Apa yang menjadi konsen APINDO sudah diterima dan diakomodasi oleh DPR, termasuk pasal 47 yang menyebutkan tentang 10% keuntungan untuk konservasi, itu juga sudah tidak ada,” tuturnya.

Menurut Direktur TERRA SIMALEM Nanang,SS, Focus Group Discussion (FGD) Diskusi Pakar Memastikan Pengaturan Hak Dasar Rakyat Atas Air yang dilaksanakan Pusat Studi HAM UNIMED dan TERRA SIMALEM di Lt. 3 Ruang Sidang FIS UNIMED, Rabu, 17 Juli 2019, dibuka oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial UNIMED Dra. Nurmala Berutu,M.Pd ini menghadirkan narasumber antara lain Prof. Dr. H. Hasim Purba, S.H., M,Hum (Prodi Hukum Perdata Universitas Sumatera Utara (USU), Prof. Dr. Alvi Syahrin S.H., M.S, Guru Besar Hukum Pidana Lingkungan (Universitas Sumatera Utara (USU), Prof.Dr Abdul Rauf,MP ( Guru Besar Ilmu Tanah Universitas Sumatera Utara/Ketua Forum DAS Sumut),Dr. Mustafa Kamal Rokan,MH (Pakar Hukum Konsumen Universitas Islam Negeri Sumatra Utara (UINSU), Muhammad Fahmi Siregar S.H., M.Hum (Dosen Universitas Negeri Medan (UNIMED) / Pakar Bisnis dan HAM Pusham UNIMED), Muhammad Reza dan Henry Thomas Simarmata (Koalisi Rakyat Untuk Hak Asasi Air (Kruha),Dr.Mova Al’Afghani (Directur Center For Regulation, Policy and Governance ( CRPG), Majda El Muhtaj (Kepala Pusat Studi HAM, Universitas Negeri Medan), dan Iswan Kapitra (Wakil Directur BITRA Indonesia) dan Direktur Air Limbah PDAM Tirtanadi Fauzan Nasution. (rel/za)

Mungkin Anda juga menyukai