BELAJAR SELAMA PANDEMI, MUSIBAH ATAU ANUGERAH?
Oleh: Deddy Sutrisno Siregar, SPd
Pandemi yang melanda Indonesia sudah memasuki hampir 2 tahun menyebabkan perubahan yang signifikan. Perubahan itu mulai dari pemberlakukan protokol kesehatan (prokes) seperti cuci tangan, dan jaga jarak sampai dengan sektor-sektor strategis yang terdampak pandemi. Melihat lonjakan kasus Covid 19 saat ini (21 Juli 2021) yang mencapai 2,9 juta kasus, pemerintah semakin ketat agar covid tidak menyebar luas mulai dari Pembatasan Sosial Besar-besaran (PSBB) sampai Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Pandemi juga membawa perubahan besar dalam sistem dunia pendidikan. Semenjak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang biasa disapa ‘Mas Mentri’ Nadiem Makarim memperkenalkan program ‘Merdeka Belajar’ hal ini serasa selaras dengan kondisi Indonesia saat ini, yang menuntut agar belajar tidak hanya di kelas. Belajar bisa dimana saja. Rumah, tempat bermain dan tempat-tempat lain yang memiliki akses internet bisa menjadi tempat belajar. Selama terhubung ke internet, semua bisa dilakukan, antara lain belajar.
Ada fakta yang menjadi tugas kita bersama. Melansir data Bank Dunia (World Bank) pada tahun 2018, kualitas pendidikan Indonesia masih rendah, meski perluasan akses pendidikan untuk masyarakat sudah meningkat cukup signifikan. Dalam laporan berjudul “The Promise of Education in Indonesia”, Bank Dunia menyebut Indonesia telah meraih kemajuan penting dalam meningkatkan akses pendidikan, khususnya bagi anak-anak kurang beruntung. Selanjutnya merujuk pada survei kemampuan pelajar yang dirilis oleh Programme for International Student Assessment (PISA), pada Desember 2019 di Paris, Indonesia disebut menempati peringkat ke-72 dari 77 negara. PISA adalah survei evaluasi sistem pendidikan di dunia yang mengukur kinerja siswa kelas pendidikan menengah. Penilaian dilakukan setiap tiga tahun sekali dan dibagi menjadi tiga poin utama, yakni literasi, matematika dan sains.Dalam survei itu, Malaysia menempati peringkat ke-56, sedangkan Singapura berada di puncak dengan menempati peringkat nomor dua teratas. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan alokasi anggaran pendidikan telah menyerap 20 persen dari total APBN, namun hasilnya tidak memuaskan.”Sekarang hampir 10 tahun mengadopsi 20 persen anggaran pendidikan di APBN. Namun hasilnya tidak sebesar seperti di Vietnam,” ujar Sri Mulyani, pada Jumat (9/8/2019), seperti dilansir dari Kompas.
Berkaca dari hal di atas, pekerjaan mendidik di tengah pandemi saat ini menjadi tantangan yang sangat berat bagi guru-guru apa lagi jika gurunya masih “gagap teknologi”. Pembelajaran era revolusia 4.0 menitik beratkan pada memadupadankan pendidikan dengan teknologi agar pembelajaran tidak terkesan jadul dan ketinggalan jaman. Guru sebagai garda terdepan dalam dunia pendidikan harus terus berinovasi dan mengembangkan pembelajaran agar di minati siswa. Kelas-kelas belajar saat ini sudah disulap menjadi kelas-kelas online agar siswa tidak ketinggalan pembelajaran. Namun, walaupun inovasi sudah dilakukan tetap saja ada masalah yang didapati di lapangan. Tidak hanya tenaga kesehatan saja yang mendapatkan ‘suara-suara sumbang’ terkait pelayanannya, guru juga seperti itu. Wali murid mengeluh karena siswa dicecoki dengan banyak tugas sedangkan gurunya berleha-leha di rumah. Murid bukan makin giat belajar, tapi semakin malas belajar. Tudingan seperti itu tentu tanpa dasar. Guru sudah berusaha sebaik mungkin untuk menciptakan pembelajaran yang menarik. Teknis di lapangan tentu tidak seperti yang diharapkan. Banyak hambatan dan kendala yang di hadapi guru untuk menyampaikan pembelajaran mulai dari sarana dan prasarana seperti listrik dan jaringan yang kadang hilang. Guru yang berada di garis depan selalu mendapati masalah klasikal seperti ini sampai kendala dari internal yang sangat miris menimpa guru yang sempat viral dimana guru mempersiapkan materi MPLS sampai tidak tidur, alih-alih diperhatikan, murid-muridnya malah mencoret-coret layar zoom dengan fitur yang tersedia.
Belajar dari rumah memang menjadi solusi jitu untuk mengondisikan kegiatan belajar agar dapat terus dilakukan. Hal ini tentunya diamini oleh seluruh guru di Indonesia, karena dengan belajar dari rumah (BDR) setidknya mengurangi kluster penyebaran Covid 19 di lingkungan sekolah. Belajar menjadi lebih fleksibel. Hal yang tidak boleh dihiraukan selanjutnya adalah apakah BDR ini sudah dievaluasi sebaik mungkin oleh para pemangku kepentingan khususnya dinas pendidikan.
BDR menjadi anugerah bagi pihak-pihak yang terkait dalam memenuhi kebutuhan BDR tersebut. sebut saja bertambahnya usaha wifi berbayar yang dibuat oleh masyarakat. Ini menjadi ladang uang bagi yang bisa melihat peluang di tengah krisis ini. BDR bisa saja menjadi musibah dimana kegiatan BDR hanya sebagai ‘pelepas kewajiban’ tanpa melihat efektifitas dan efisiensi BDR sebagai solusi memajukan dunia pendidikan Indonesia. Kita mungkin tidak bisa secepat negara singapura yang indeks kegagalan pendidikan negaranya hanya 1,3 persen saja dan dinobatkan sebagai negara yang memiliki sistem pendidikan terbaik se-ASEAN.
Indonesia dengan segala potensinya bisa saja mengejar ketertinggalan tersebut, atau setidaknya menaikkan peringkat. Ada hal yang perlu di revisi dari pendidikan kita antara lain pengembangan SDM guru yang berkualitas bukan hanya kuantitasnya. Kemendikbud sebenarnya sudah memulai pengembangan SDM guru ini melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, guru harus minimal S1, bersertifikat, dan memiliki kompetensi unggul yang ditunjang dengan berbagai diklat online gratis pada portal layanan GTK Kemdikbud. Hemat saya, kendalanya hanya pada aspek kontiniunitas dan pengawasan saja. Lalu lintas bisa lancar ketika ada polisi yang mengawasi, pendidikan juga harusnya seperti itu. Pengawasan yang holistik dan keberlanjutan program menjadi solusi yang bisa ditawarkan agar SDM Guru meningkat. Sisi ekonomi guru dalam mendapatkan salary adil juga harus menjadi perhatian. Ironi rasanya guru di tuntut banyak hal, tapi dalam kesejahteraan masih saja ditahan dengan dalih dana di alihkan ke sektor lain yang lebih priorotas. Guru juga memerlukan logistik dalam berlogika untuk mencerdasakan anak bangsa.
Akhir kata, dalam pandemi yang tidak tahu kapan selesainya ini, mari kita lebih bijak dalam memaknai pembelajaran pada masa ini. BDR secara konsep adalah sebuah solusi dan anugerah bagi siswa agar tetap belajar. Belajar sesungguhnya kesempatan emas yang tidak boleh dilewatkan apapun situasi dan kondisinya. Pendidikan adalah sebaik-baik bekal kehidupan masa depan. Ketidaksiapan bekal masa depan akan menimbulkan masalah dikemudian harinya. Semoga pendidikan Indonesia semakin maju sesuai slogan bapak presiden kita, Indonesia Maju. Merdeka Belajar. (*)
Penulis adalah Guru Di SMP Negeri 13 Tanjungbalai
Bidang Study PPkN Alumni Universitas Medan
Mahasiswa PPG DALJAB ANGKATAN II UMN AL-WASHLIYAH