CALEG GOLKAR

10 Petani di Tobasa Jadi Korban Diskriminasi

TOBASA (medanbicara.com) – Penangkapan 10 pengurus kelompok tani Ketanrantim (Kelompok Tani Desa Meranti Timur) dari Desa Meranti Timur, Kec Pintu Pohan, Tobasa, yang kemudian menjadi terdakwa pada persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Balige atas tuduhan perusakan, pembakaran dan penebangan kawasan hutan konservasi di kawasan Dusun Sigalapang, Desa Meranti Timur, ternyata korban diskriminasi hukum.

Hal itu terungkap pada persidangan lanjutan yang digelar Rabu (2/11) siang di PN Balige. Pasalnya, para kelompok tani itu baru mengelola lahan tersebut sejak tahun 2015. Sedangkan lahan itu, berdasarkan pengakuan pelapor, Suriono, telah ditetapkan sebagai lahan konservasi sejak tahun 1977.

Sejak tahun itu, lahan tersebut telah dikuasai oleh pengusaha dari luar daerah Tobasa, serta beberapa petani lain. Mereka baru meninggalkan lahan itu sejak tahun 2013.

Artinya, pengusaha dan petani lain juga telah melakukan pembalakan liar, pembakaran dan perusakan terhadap kawasan yang sama sejak tahun 1977 hingga tahun 2013.

Tak hanya itu, bahkan hingga kini masih ada juga pengusaha yang masih menduduki dan mengusahai kawasan konservasi itu sebagai lokasi perkebunan kelapa sawit. Di dalam lahan itu, juga terdapat pemukiman para pekerja milik pengusaha yang diketahui bermarga Hutabarat.

Bahkan, jalan menuju perkebunan itu juga melewati kawasan konservasi, sementara pada persidangan sebelumnya, Suriono dengan tegas mengatakan jika jalan yang digunakan oleh pengusaha itu telah melanggar Undang-Undang, sama seperti ke-10 petani itu.

Meski begitu, Suriono selaku Kepala Resort Konservasi Wilayah Sumut Hutan Margasatwa Dolok Surungan I, hanya melaporkan para pengurus kelompok tani itu kepada yang berwajib, sedangkan para pengusaha itu masih dibiarkan hingga saat ini.

“Kenapa mereka hanya melaporkan kami? Kami hanya mengusahai lahan itu sejak tahun 2015. Kami hanya menyambung hidup dengan menanam padi dan palawija. Sedangkan pengusaha yang sudah menduduki lahan itu sejak tahun 1977 bahkan hingga sekarang, tidak dilaporkan. Tapi kami tidak dapat berbuat banyak, kami berharap agar majelis hakim dan Jaksa Penuntut Umum mempertimbangkan hal itu,” sebut Gompar, salah seorang petani yang turut menjadi terdakwa di kursi pesakitan.

Diskriminasi itu kian jelas saat Bobbi Novandri sebagai saksi ahli yang dihadirkan oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum) Friska Sianipar, mengatakan bahwa sejak tahun 2007, ia telah melaporkan 3 pengusaha dengan tuduhan perusakan dan pembalakan liar ke Polres Tobasa. Namun hingga kini tak satupun dari laporan itu yang maju ke meja persidangan.

"Saya juga sudah melaporkan 3 pengusaha ke Polres Tobasa pada tahun 2007, namun hingga tak satupun dari kasus itu yang sampai ke pengadilan, saya tidak tau alasannya karena apa," sebutnya dalam persidangan.

Tak hanya itu, JPU bahkan menghadirkan seorang saksi ahli, Bangun Siagian yang ternyata hanya menamatkan pendidikan formal di tingkat SMA.

"Pendidikan formal terakhir saya SMA yang mulia," ujar saksi menjawab pertanyaan ketua majelis hakim, Syafril Batubara soal keahlian saksi.

Usai mendengar keterangan para saksi, Ketua Majelis Hakim, Syafril Batubara mengakhiri persidangan dan dilanjutkan pada Selasa (8/11) mendatang. (lexa)

Mungkin Anda juga menyukai