CALEG GOLKAR

Memperingati Hari Pers Nasional, Wartawan Oh Wartawan Nasibmu Kini…

Pagi kemarin saya menelepon teman lama dan sudah lama pula jadi wartawan. Niat saya cuma bersilaturrahmi karena sudah lama tak ketemu.

“Apa kabar bos?” begitu awal percakapan saya dengan wartawan yang setahu saya cukup dikenal di kalangan pejabat di daerah itu.

“Baik bos, bos gimana baik juga kan. Eh… ingatnya bos tak ikut ke puncak Hari Pers Nasional (HPN) di Banjarmasin?” begitu awal pembicaraan saya dengan teman yang selalu memanggil saya bos itu, padahal saya bukan bosnya hahahaha.

Oalah, saya baru teringat. Ya sekadar mengingatkan penetapan Hari Pers Nasional ini ditetapkan dalam Keputusan Presiden RI Nomor 5 tahun 1985. Setelah itu setiap tahunnya Pers Indonesia memperingati sebagai ulang tahun dan juga menandakan kemerdekaan dan diakuinya organisasi pers di Indonesia, termasuk Hari Pers Nasional 2019.

Selanjutnya adalah informasi terkait Hari Pers Nasional dan juga Kongres PWI ke-28. Ditetapkan hari pers nasional sangat erat hubungannya dengan PWI. Karena telah dibahas akan menjadi salah satu butir dari hasil Kongres PWI ke-28 di Padang pada tahun 1978.

Dalam Kongres tersebut dibahas tentang Hari Pers Nasional, akhirnya tercetus dari keinginan tokoh-tokoh pers untuk memperingati kehadiran dan perannya dalam lingkup nasional. Selain itu dalam Sidang Dewan Pers ke-21 yang diselenggarakan di Bandung pada tahun 1981, akhirnya Dewan Pers mengajukan Hari Pers Nasional untuk diperingati setiap tahunnya.

Itu sejarah singkatnya. Setelah selesai berteleponan dengan teman tadi jadi teringat menulis. Saya kan wartawan kan tak salah menulis begitu dalam benak saya.

Nah, teringat kata teman tadi soal HPN banyak pertanyaan yang timbul di dalam benak saya soal kehidupan seorang wartawan baik dahulu maupun di zaman yang katanya milenial ini.

Pertanyaan pertama tentu saja begini,”Bagaimanakah nasib kehidupan wartawan?” Nah, saya jadi teringat pula ada wartawan juga teman saya pernah buat status di instagram. Wartawan itu menulis intinya menasehati anaknya agar jangan jadi wartawan, cari kerja yang waktu kerja dan ritmenya jelas dan yang terpenting penghasilannya jolas.

Nah, dari sana timbul lagi pertanyaan. Sudah tak jolas kah profesi wartawan di zaman sekarang ini? Ontahlahjang…. Tapi yang pasti memang sekarang ini wartawan semakin sulit, apalagi yang bekerja di media cetak seperti koran, majalah, tabloid dan sebagainya.

Media konvensional itu kini digilas oleh media elektronik seperti online, televisi dan medsos. Media cetak perlahan sudah ditinggalkan kaum milinial dan beralih ke media yang lebih canggih. Buntutnya, penghasilan media cetak melorot alias engap-engap baung, bahkan ada yang sampai bangkrut.

Perusahaan pers atau penerbit media cetak kini mengencangkan ikat pinggang. Ironisnya, ada juga media cetak kini mempekerjakan wartawannya tanpa gaji dan malah disuruh mencari duit untuk menghidupi perusahaan. Padahal, untuk mengisi perut istri dan anak-anaknya saja si wartawan kadang kesulitan.

Selain itu, ada juga perusahaan pers yang ternama di Indonesia terpaksa memecat alias memberhentikan sebagian wartawannya karena tak gajian. Nah, setelah dikeluarkan pesangon dan gaji yang tertunggak tak dibayar. Alasan perusahaan pers itu untuk biaya operasional saja mereka juga sudah kesulitan.

Jadi berkaca dari status kawan wartawan tadi kata tak jolas itu mungkin saja di perusahaannya juga sudah tak jolas sehingga keluar kata-kata seperti itu. Tapi, ya sudahlah biar kawan wartawan itu aja yang tahu bersama Allah SWT.

Belum lagi kini wartawan juga was-was dengan disahkannya Undang-undang IT. Tak jarang wartawan diadukan ke aparat penegak hukum hanya karena gara-gara pemberitaan, padahal ada Undang-undang Pers. Bukan itu saja, sekarang ini wartawan sebentar-sebentar diadukan ke aparat penegak hukum, belum lagi ancaman dan bahkan dianiaya oleh oknum-oknum sumber yang diberitakan. Semakin mengerikan memang….

Sudah sulit, sekarang ini wartawan juga harus lulus UKW alias Uji Kompetensi Wartawan, yang menyelenggarakannya sudah dihunjuk seperti PWI, AJI, IJTI dan lainnya. Kalau tidak UKW katanya si wartawan tak berhak mewawancarai narasumber karena dianggap wartawan abal-abal alias wartawan gadungan dan apalah istilahnya.

Jadi, si wartawan tak bisa melakukan pekerjaannya sebelum ikut UKW. Bisa jadi perusahaan pers juga akan memecat semua wartawan yang tidak ada UKW-nya. Memang niat itu baik, tapi alangkah baiknya lagi organisasi atau lembaga kewartawanan itu memikirkan kehidupan wartawan yang kebanyakan yang tak layak itu.

Atau setidaknya memperjuangkan hak-hak wartawan yang bekerja di perusahaan pers yang tidak digaji sama sekali kalaupun digaji kecil, uang pesangonnya yang tak dibayar. Bahkan, ya itu tadi disuruh perusahaan persnya untuk cari duit.

Kalau kehidupan wartawan ini di bawah rata-rata tentu saja independensi si wartawan pasti akan diragukan. Maaf si wartawan ini juga tak segan-segan akan melakukan segala cara hanya untuk mendapat sesuap nasi biar bertahan hidup.

Saya jadi teringan omongan seorang pejabat di daerah. Kira-kira dia bilang begini,” Udahlah kita kan tahu sama tahu wartawan itu ada yang tak digaji perusahaannya. Cobalah adek pikirkan cemanalah dia menghidupi anak dan istrinya. Makanya wajar saja dia begitu… Kami aja yang digaji terkadang sulit dek. Tapi kok bisa ya. Mungkin itulah rezeki yang tak disangka-sangka dari Tuhan itu ya.”

Miris juga memang mendengar perkataan si pejabat itu. Mungkin juga ada benarnya. Tapi ya sudahlah anggap saja motivasi agar kita sebagai wartawan ini berbenah diri dan jangan memikirkan diri sediri, begitu juga lembaga dan organisasi hendaklah ikut termotivasi untuk menaikkan harga diri dan bahu membahu menolong teman sediri.

Jangan Cuma hanya memikirkan verifikasi dan ujian kompetensi, sementara kawan, teman dan apalah namanya tetap wartawan yang punya hati nurani dan ingin terbang lebih tinggi. Selamat Hari Pers Nasional lah bro…bro wartawan semua. (faliruddinlubis)

Mungkin Anda juga menyukai